Satu dasawarsa lebih era reformasi berlalu.
Setidaknya empat kali sosok figur memimpin bangsa ini. sepanjang satu
dasawarsa lebih ini nampaknya apa yang diharapkan rakyat dari keempat
figur ini jauh dari terwujud. Ini kenyataannya. Nyatanya
rakyat miskin tetap dibiarkan miskin, tak ada upaya serius pemerintah
untuk menghentikan kemiskinan. Para pemimpin malah sibuk mengatur diri
dan partainya. Terlebih menjelang pilpres. Tahun depan. Klop!
Partai-partai politik dan para anggota dewannya
sama juga, menyibukan diri berlomba memperkaya diri dan saling
mempertahankan posisi. Kongkritnya mereka lupa dengan tugas, apalagi
janji dan tanggung jawabnya pada rakyat yang memilih.
Setiap hari, pemberitaan media elektronik maupun
cetak yang menjadi topik selalu saja ribut-ribut antar parpol, antar
anggota dewan bahkan dalam diri parpol itu sendiri tak ada kesepahaman.
Lantas kapan mereka akan memikirkan rakyat?
Saya khawatir jika hal ini selalu dibiasakan akan
menjadi gejolak sosial. Saya khawatir jika hal ini selalu dibiasakan
akan menjadi gejolak sosial.
Ada benarnya jika carut marutnya tatanan bangsa ini
di kaitkan dengan ramalan Ronggowarsito dalam kitabnya yang
menyebutkan, bahwa di Zaman Edan siapa yang tidak edan tidak kebagian.
Orang waras dianggap tidak waras, tetapi penjahat negara
dianggap sebagai pahlawan. Walaupun begitu, menurut Ronggowarsito,
sebaik-baik orang di Zaman Edan adalah mereka yang ingat dan waspada
(eling lan waspadha).
Melihat fenomena sosial akhir-akhir ini, bisa
dikatakan, saat ini kita berada di zaman yang tidak normal sebagaimana
ramalan Ronggowarsito diatas. Kalau mengikuti ungkapan Ronggowarsito,
akan datang satu zaman sebagai zaman edan. Ya, sekarang ini zaman yang
dimaksud berlaku!
Di zaman yang abnormal, semua akan berkebalikan
dengan yang normal. Jika normalnya di negeri tani sesubur Indonesia ini,
masyarakatnya tidak akan antre di balai desa mengambil jatah beras
raskin!
Di zaman yang tidak normal, semua menjadi tidak
jelas ukuran kemajuannya. Ukuran yang dipakai adalah ukurannya sendiri.
Perilaku menjadi tidak obyektif karena semua tergantung dari
selera pribadi atau kelompok. Ketika tema antikorupsi sedang
dikibarkan, maka semua orang akan berbicara antikorupsi meskipun
perilakunya sendiri sungguh-sungguh korup. Ora nduwe isin.
Tanda-tanda seperti ini sudah mulai wajar. Ikatan kesejatian tidak lagi
menjadi bagian hidup dalam menciptakan kebersamaan. Kesejatian hidup
meluntur seiring dengan menguatnya hasrat orang untuk berjuang demi
dirinya sendiri.
Egoisme manusia mengalahkan semua perasaan senasib dan seperjuangan. Kita dididik dalam situasi dimana “aku mengalahkan maka aku ada”.
Siapa kalah siapa menang. Siapa kamu siapa aku. Sapa sira sapa ingsun.
Solidaritas yang terbentuk merupakan solidaritas semu, karena terbentuk
bukan sikap saling menghargai sesama, melainkan aspek kepentingan
praktis.
Kecenderungan yang terjadi daalm perekonomian
bangsa ini juga merupakan kesemuan belaka. Pertumbuhan ekonomi katanya
meningkat, anehnya tidak mampu mengurangi pengangguran, dan daya beli
dan hidup rakyat semakin melemah. Katanya angka kemiskinan berkurang,
nyatanya kehidupan rakyat semakin sengsara akibat ketahanan hidup makin
melemah.pertumbuhan ekonomi semakin naik, sakin tingginya hingga
tetesannya pun tidak sampai ke bawah. Orang miskin semakin tidak berdaya
menghadapi beban hidup yang terus meningkat. Semua kegemilangan itu
seolah-olah hanya menjadi hak tidak lebih dari 2 persen penduduk, dan
yang 98 persen itu hidup dalam himpitan krisis yang begitu dahyat.
Pun demikian dengan kriminalisasi semakin
bervariasi. Sering disebabkan masalah-masalah sepele pertengkaran
terjadi. Anak membunuh orang tua, orang tua memperkosa anak kandung,
sesama saudara kandung saling berbunuhan, dan masih banyak lainnya.
Melihat fenomena demikian, tepat jika ramalan Ronggowarsito tentang
Zaman Edan!
Logika akal sehat kita sudah tidak bisa memahami
mengapa hal ini dianggap wajar. Logika keadilan rumbuh, ambruk. Semangat
hidup bersama dalam suasana keadilan tidak lagi menjadi bagian dari
cara berpikir, boro-boro bertindak bernalar pun tidak sama
sekali. Semua serba dibuat tidak jelas aturan mainnya. Semua
dipermainkan logika politik yang mengejar setoran! Seolah-olah ada namun
tiada, dan sebaliknya.
Apalagi dalam dunia politik, politik berada di
bawah bayang-bayang kekuasaan para pemodal hitam. Mereka bekerja begitu
licin sampai hampir-hampir tidak terungkap gerak-geriknya, walau semua
orang merasakan kekauatannya. Publik mampu mencium bau tidak sedap di
mana orang-orang dalam kekauasaan bermain dengan jurus lobi-lobi. Semua
tidak terlihat, tapi nyata!
Wong kere menggurita di mana-mana, pengangguran
menyebar dari pelosok sampai pusat kota. Realitas ini sebenarnya sudah
dirasakan dan di baca oleh elite politik. Tetapi mereka ini memang tidak
punya telinga dan memakai kacamata ‘las’ untuk melihat dan mendengar
jeritan itu. Telinga mereka tersumbat aliran modal. Mulut mereka tidak
lagi bisa menyarakan hati nurani karena sudah tergadai oleh kepentingan
uang. Inilah yang membuat korupsi bertumbuh subur. Korupsi di Republik ini
seolah-olah dijamin oleh hukum. Tentu saja hukum yang tak normal. Orang
yang normal akan berteriak-teriak: “tegakkan hukum!” Dan, yang mau
ditegakkan tidak mau menegakkan dirinya sendiri.
Kita memang berada dalam hidup yang penuh dengan
kebuntuan. Kita buntu berpikir mengenai kesejatian hidup. Kini yang ada
hanya harapan yang penuh kepalsuan. Ya, ini zaman yang tidak normal di
mana yang normal dianggap tidak normal, dan yang tidak normal dianggap
sebagai normal. Kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita hidup di zaman
yang tidak normal, tetapi terus-menerus berpikir seperti orang normal.
Dekadensi moral dan ketimpangan sosial, sudah
diteropong oleh pujangga supranatural, Ronggowarsito beberapa abad
silam. Ke-edan-an itu seperti tidak sadar merasuki setiap orang. Secara
mistik, pengaruh-pengaruh itu bersumber dari kekuatan iblis-iblis yang
mulai terang-terangan muncul di permukaan. Hal ini sesuai dengan perkembangan zaman yang tengah memasuki akhir dari peradaban manusia sebelum akhirnya bencana besar, kiamat!
Hanya obat spiritual yang diyakini mampu mengobati
penyakit-penyakit sosial seperti sekarang ini. dan tabib yang
ditunggu-tunggu membawa obat itu adalah Ratu Adil, seorang penguasa
bijak yang adil dan bijaksana. Siapakah mereka sebenarnya, adakah
mungkin diantara para pembaca tulisan ini adalah Ratu Adil tersebut? Ya,
mungkin kita masih perlu waktu untuk menunggu………
0 komentar:
Posting Komentar